Tidak hanya Selat Solo, Bistik Gelantin juga bisa dicicipi. Bistik klasik yang diadaptasi dari kuliner Belanda tempo doeloe ini tidak hanya enak, tapi juga unik. Hmm.. tak ada salahnya mencoba sajian enak resto ini di akhir pekan esok hari.
Saat seorang teman mengajak saya untuk makan siang di bilangan Kebayoran Baru, saya tak kuasa menolaknya meskipun saat itu saya belum tahu resto apa yang akan kami tuju. Tidak lama setelah melewati Hemma (resto Belanda) mobilpun berbelok dan langsung parkir di depan sebuah rumah makan yang dari luar tidak terlalu nampak istimewa. Sebuah banner besar bertuliskan 'Kusuma Sari Resto & Catering' terpampang jelas di bagian muka.
Sebuah pintu kayu besar nampak kuno menyambut kami. Jejeran bangku kayu tertata rapi, tidak banyak ornamen terlihat di sudut ruangan untuk mempercantik tempat ini. Hanya beberapa potongan artikel dan foto yang tampak kuno terpajang di beberapa dindingnya. Cermin dipasang di sisi kiri dan kanan ruangan sehingga terlihat memperbesar ruangan.
Seorang pelayan datang membawakan buku menu. Hampir semua hidangan yang ada di dalam daftar menu adalah masakan Jawa, khususnya daerah Solo. Sebut saja, nasi kimlo, selat Solo, tahu telur, nasi langgi, mi goreng Jawa, nasi liwet, dan bistik. Menu Barat juga ada, seperti steak, beef wiener schnitzel, dan beef gordon bleu.
Ah, sejak pertama melihat menu mata saya langsung tertarik dengan nasi liwet khas Solo. Sayangnya, menu ini hanya hadir di saat akhir pekan saja. Mau tak mau saya memilih menu lainnya. Selat Solo dan juga bistik galantine yang klasik sebagai gantinya.
Kami memesan kedua menu ini tanpa nasi, karena biasanya bistik dan juga selat Solo disajikan bersama dengan kentang. Jadi cukup mengenyangkan menggantikan nasi. Selat Solo dan juga bistik galantine konon katanya merupakan hidangan keraton yang sudah cukup melegenda. Tidak semua rumah makan Solo menyajikan hidangan ini.
Selat Solo ini berisi dua buah potong daging has sapi yang dimasak cukup lama sehingga menghasilkan daging yang empuk. Kuahnya berwarna cokelat pekat dengan rasa yang manis-manis gurih. Pelengkapnya antara lain, potongan kentang goreng, keripik kentang, buncis rebus, telur rebus, irisan tomat, daun selada, dan juga acar timun yang dipotong halus memberikan aksen asam-asam yang segar.
Berbeda dengan selat Solo, bistik galantine tampil sangat meriah. Potongan wortel, telur, tomat dan kentang yang digoreng memberikan aksen warna yang cantik. Kacang polong juga diberikan di sisi lainnya. Bistik galantine ini mendapatkan pengaruh budaya Belanda yang cukup kental.
Bistik ini secara tradisional biasa disajikan untuk para raja dan juga tamu istimewa kerajaan lainnya. Potongan daging cincang, sosis, roti, dan telur dicampur menjadi sebuah adonan yang kemudian dibentuk, dikukus lalu digoreng dengan margarin.
Sausnya berwarna oranye kemerahan yang mencolok, jejak gerusan lada hitam terlihat masih kasar. Rasa sausnya gurih-gurih pedas dari lada hitamnya. Lamat-lamat tertinggal jejak manis yang enak plus aroma pala yang wangi. Dicampur bersama dengan daging bistiknya jadi semakin enak.
Oya, bistik galantin ini juga diberikan saus mustard sebagai pelengkap. Bedanya, saus mustard pada bistik galantin ini dicampur dengan sedikit gula. Sehingga rasanya asam-asam manis. Enak!
Meskipun tidak menggunakan nasi, tapi perut kami cukup dibuat kenyang oleh kedua menu tersebut. Segelas teh poci gula batu yang hangat membersihkan jejak bistik ditenggorokan, segar! Untuk kedua menu klasik khas Solo ini saya tak perlu merogoh kocek terlalu dalam, cukup dengan Rp 25.000 saja saya sudah bisa menikmatinya.
O ya, Kusuma Sari ini juga menerima jasa catering. Hmmm.. bisa jadi alternatif disaat bingung menjamu tamu saat arisan atau acara keluarga lainnya nih!
Jumat, 14 September 2012
Selasa, 11 September 2012
Chajang Myun, Mi Hitam dari Negeri Ginseng!
Mi yang satu ini berukuran besar-besar mirip udon. Toppingnya unik, berupa saus hitam gurih yang bercampur potongan zucchini, wortel, bawang bombay, dan daging cincang. Jangan tertipu penampilannya, sebab rasanya slurpp... massitta!
Pada saat jam makan malam Toh Dam paling ramai dikunjungi. Salah satu andalan resto Korea di sudut jalan Senopati ini adalah berbagai home made noodles Korea. Bukan hanya pengunjung lokal seperti saya yang ingin mencicipi berbagai hidangan khas korea di Toh Dam. Orang Korea yang tinggal di Indonesia dan orang asing lain pun banyak yang bertandang.
Suasana Toh Dam terasa homey dan nyaman. Seorang pria Korea setengah baya yang saya duga sang pemilik menyambut kedatangan saya. "Eoseo oseyo," sapanya sambil melempar senyum dan memanggilkan salah seorang pelayan. Resto ini tak begitu luas, hanya ada beberapa kursi yang berderet dan sedikit agak berhimpitan. Namun adanya sekat-sekat yang memisahkan tiap meja cukup memberi privasi, termasuk beberapa ruangan khusus VIP.
Salah satu tempat duduk yang tepat menghadap TV flat langsung jadi meja favorit saya. Saat melihat buku menu rasanya makanan yang ditawarkan tak jauh berbeda dengan restoran Korea pada umumnya. Yang jadi andalan Toh Dam adalah berbagai home made noodle Korea seperti Chajang Myun, Kalguksu, Haemul kalguksu, Sujebi, dll. Sedangkan menu lainnya ada bimbimbap, bulgogi, dan samgyetang dan berbagai jenis daging panggang. Wah, komplet kan?
Saya langsung memesan Chajang Myun yang jadi favorit banyak orang dan juga seporsi Bulgogi. Sayang untuk minumnya tak banyak pilihan, selain cha alias teh, ada bir dan soft drink. Tak lama dipesan, cha pesanan saya sudah disajikan dalam gelas keramik mungil. Sambil menunggu pesanan lainnya diantar saya pun asyik menonton tayangan kdrama di televisi. Wah, benar-benar seperti di rumah sendiri.
Tak lama enam jenis pancan atau sajian pembuka sudah digelar dalam piring-piring mungil. Salah satunya adalah kimchi. Kimchi biasanya terbuat dari berbagai sayuran yang difermentasikan dengan cabai bubuk dan bawang putih. Yang satu ini tampilannya berwarna kemerahan cerah, sawinya krenyes enak dengan sensasi pedas mengigit. Hidangan lainnya ada kacang rebus, salad, sayur pakis, tumis tahu, dan salad sayuran.
Chajang Myun disajikan dalam mangkok yang besar dengan topping irisan timun memanjang dan sepotong telur rebus. Chajang Myun juga dikenal dengan sebutan Mi Hitam, sajian ini banyak dijual di berbagai restoran Korea dan Cina. Disebut 'Chajang' karena sausnya yang kehitaman dibuat dari kacang kedelai hitam. Sedangkan 'Myun' dalam bahasa Korea berarti mi. Pelengkap mi hitam ini ada acar lobak berwarna kekuningan, semangkok saus hitam, cabai bubuk, asam, dan cuka dalam botol.
Saus Chajang disajikan dalam mangkok terpisah. Saus berwarna kehitaman tersebut berisi irisan dadu wortel, zucchini, wortel, cincangan bawang bombay dan daging sapi. Saya pun mulai meracik bahan-bahan pelengkap Chajang Myun dengan mencampurkan mulai dari saus yang kehitaman sampai menambahkan lobak, sedikit cabai bubuk, asam, dan cuka.
Setelah diaduk rata wouww... massitta! Sensasi gurih-gurih kenyal enak dan sedikit asam pedas dari cabai membuat mi khas Korea ini terasa unik. Gigitan zucchini, wortel, bawang bombay memberi sensasi krenyes, kontras dengan mi yang kenyal lembut. Sayang, mi yang besar-besar seperti udon ini porsinya terlalu besar untuk satu orang. Padahal ada bulgogi sudah menanti.
Sajian daging khas Korea tersebut disajikan panas-panas dalam mangkok batu. Dalam bahasa Korea, kata 'Bul' berasal dari kata api dan 'Gogi' berarti daging. Daging sapinya diiris tipis-tipis plus irisan daun bawang dan bawang bombay. Seporsi sayur seperti selada, irisan timun, daun seruni bawang putih, wortel, timun, bawang putih, dan sambal khas Korea menjadi pelengkap bulgogi.
Untuk menikmati bulgogi ada cara tersendiri. Pertama-tama taruh selada di atas telapak tangan, kemudian tumpuk dengan irisan daun bawang putih, irisan timun, bawang putih, wortel, dan sambal. Terakhir baru ditaruh si daging bulgogi yang lezat, kemudian tinggal dilipat dan siap disuapkan ke dalam mulut. Nyam nyam...! Jika makan bulgogi saja tidak kenyang, sudah ada seporsi nasi Korea pulen juga disajikan hangat-hangat dalam mangkok batu.
Berhubung porsi hidangan di Toh Dam lumayan besar, hidangan di Toh Dam bisa sharing untuk dimakan berdua. Seporsi besar Chajang Myun dihargai Rp 65.000,00 dan Rp 68.000,00 untuk Bulgogi yang lezat. Jal mogesseumnida!
Pada saat jam makan malam Toh Dam paling ramai dikunjungi. Salah satu andalan resto Korea di sudut jalan Senopati ini adalah berbagai home made noodles Korea. Bukan hanya pengunjung lokal seperti saya yang ingin mencicipi berbagai hidangan khas korea di Toh Dam. Orang Korea yang tinggal di Indonesia dan orang asing lain pun banyak yang bertandang.
Suasana Toh Dam terasa homey dan nyaman. Seorang pria Korea setengah baya yang saya duga sang pemilik menyambut kedatangan saya. "Eoseo oseyo," sapanya sambil melempar senyum dan memanggilkan salah seorang pelayan. Resto ini tak begitu luas, hanya ada beberapa kursi yang berderet dan sedikit agak berhimpitan. Namun adanya sekat-sekat yang memisahkan tiap meja cukup memberi privasi, termasuk beberapa ruangan khusus VIP.
Salah satu tempat duduk yang tepat menghadap TV flat langsung jadi meja favorit saya. Saat melihat buku menu rasanya makanan yang ditawarkan tak jauh berbeda dengan restoran Korea pada umumnya. Yang jadi andalan Toh Dam adalah berbagai home made noodle Korea seperti Chajang Myun, Kalguksu, Haemul kalguksu, Sujebi, dll. Sedangkan menu lainnya ada bimbimbap, bulgogi, dan samgyetang dan berbagai jenis daging panggang. Wah, komplet kan?
Saya langsung memesan Chajang Myun yang jadi favorit banyak orang dan juga seporsi Bulgogi. Sayang untuk minumnya tak banyak pilihan, selain cha alias teh, ada bir dan soft drink. Tak lama dipesan, cha pesanan saya sudah disajikan dalam gelas keramik mungil. Sambil menunggu pesanan lainnya diantar saya pun asyik menonton tayangan kdrama di televisi. Wah, benar-benar seperti di rumah sendiri.
Tak lama enam jenis pancan atau sajian pembuka sudah digelar dalam piring-piring mungil. Salah satunya adalah kimchi. Kimchi biasanya terbuat dari berbagai sayuran yang difermentasikan dengan cabai bubuk dan bawang putih. Yang satu ini tampilannya berwarna kemerahan cerah, sawinya krenyes enak dengan sensasi pedas mengigit. Hidangan lainnya ada kacang rebus, salad, sayur pakis, tumis tahu, dan salad sayuran.
Chajang Myun disajikan dalam mangkok yang besar dengan topping irisan timun memanjang dan sepotong telur rebus. Chajang Myun juga dikenal dengan sebutan Mi Hitam, sajian ini banyak dijual di berbagai restoran Korea dan Cina. Disebut 'Chajang' karena sausnya yang kehitaman dibuat dari kacang kedelai hitam. Sedangkan 'Myun' dalam bahasa Korea berarti mi. Pelengkap mi hitam ini ada acar lobak berwarna kekuningan, semangkok saus hitam, cabai bubuk, asam, dan cuka dalam botol.
Saus Chajang disajikan dalam mangkok terpisah. Saus berwarna kehitaman tersebut berisi irisan dadu wortel, zucchini, wortel, cincangan bawang bombay dan daging sapi. Saya pun mulai meracik bahan-bahan pelengkap Chajang Myun dengan mencampurkan mulai dari saus yang kehitaman sampai menambahkan lobak, sedikit cabai bubuk, asam, dan cuka.
Setelah diaduk rata wouww... massitta! Sensasi gurih-gurih kenyal enak dan sedikit asam pedas dari cabai membuat mi khas Korea ini terasa unik. Gigitan zucchini, wortel, bawang bombay memberi sensasi krenyes, kontras dengan mi yang kenyal lembut. Sayang, mi yang besar-besar seperti udon ini porsinya terlalu besar untuk satu orang. Padahal ada bulgogi sudah menanti.
Sajian daging khas Korea tersebut disajikan panas-panas dalam mangkok batu. Dalam bahasa Korea, kata 'Bul' berasal dari kata api dan 'Gogi' berarti daging. Daging sapinya diiris tipis-tipis plus irisan daun bawang dan bawang bombay. Seporsi sayur seperti selada, irisan timun, daun seruni bawang putih, wortel, timun, bawang putih, dan sambal khas Korea menjadi pelengkap bulgogi.
Untuk menikmati bulgogi ada cara tersendiri. Pertama-tama taruh selada di atas telapak tangan, kemudian tumpuk dengan irisan daun bawang putih, irisan timun, bawang putih, wortel, dan sambal. Terakhir baru ditaruh si daging bulgogi yang lezat, kemudian tinggal dilipat dan siap disuapkan ke dalam mulut. Nyam nyam...! Jika makan bulgogi saja tidak kenyang, sudah ada seporsi nasi Korea pulen juga disajikan hangat-hangat dalam mangkok batu.
Berhubung porsi hidangan di Toh Dam lumayan besar, hidangan di Toh Dam bisa sharing untuk dimakan berdua. Seporsi besar Chajang Myun dihargai Rp 65.000,00 dan Rp 68.000,00 untuk Bulgogi yang lezat. Jal mogesseumnida!
Sabtu, 08 September 2012
Restoran Dengan Layanan Pesanan Antar Paling Jauh
Umumnya layanan pesan antar hanya menerima pesanan dalam jarak tertentu saja. Namun, sebuah restoran khas India di Camerton, Somerset, Inggris, menyediakan jasa mengantar menu hingga ke wilayah Sudan sejauh lebih dari 6000 km!
Restoran The Bombay King disebut-sebut menyediakan layanan pesan antar terjauh yang pernah ada. Restoran ini melayani pesanan dari Camerton ke wilayah konflik Sudan. Pesanan tersebut datang dari lokasi perwakilan United Nation yang sedang bertugas di Sudan, atas nama Captain Mustafa Azim.
Sang kapten memesan menu khas India untuk 30 anggota Bangladeshi Air Force yang sedang berada di Sudan. Menu-menu yang diantarkannya antara lain tandoori chicken with mint sauce, pangash fish cutlet, dan juga lamb biryani. Karena jaraknya sangat jauh, harga yang harus dibayarkanpun tak main-main, sekitar Rp. 18 juta rupiah!
“Makanan India yang lezat sulit didapatkan di Sudan, dan saya berharap Sahab Uddin (pemilik The Bombay King) bisa membantu saya. Saya tahu, dia pernah melayani tamu-tamu penting dan saya memintanya untuk memberikan keajaiban untuk saya,” kata Kapten Mustafa.
Menurut sang kapten, sepupunya dan 29 petugas lain ditempatkan di Sudan. Ia bermaksud untuk memberi kejutan bagi mereka dengan memberikan aneka menu lezat. Makanan ini sendiri diantarkan dengan menggunakan helikopter.
Restoran The Bombay King disebut-sebut menyediakan layanan pesan antar terjauh yang pernah ada. Restoran ini melayani pesanan dari Camerton ke wilayah konflik Sudan. Pesanan tersebut datang dari lokasi perwakilan United Nation yang sedang bertugas di Sudan, atas nama Captain Mustafa Azim.
Sang kapten memesan menu khas India untuk 30 anggota Bangladeshi Air Force yang sedang berada di Sudan. Menu-menu yang diantarkannya antara lain tandoori chicken with mint sauce, pangash fish cutlet, dan juga lamb biryani. Karena jaraknya sangat jauh, harga yang harus dibayarkanpun tak main-main, sekitar Rp. 18 juta rupiah!
“Makanan India yang lezat sulit didapatkan di Sudan, dan saya berharap Sahab Uddin (pemilik The Bombay King) bisa membantu saya. Saya tahu, dia pernah melayani tamu-tamu penting dan saya memintanya untuk memberikan keajaiban untuk saya,” kata Kapten Mustafa.
Menurut sang kapten, sepupunya dan 29 petugas lain ditempatkan di Sudan. Ia bermaksud untuk memberi kejutan bagi mereka dengan memberikan aneka menu lezat. Makanan ini sendiri diantarkan dengan menggunakan helikopter.
Jumat, 07 September 2012
Rawon Enak Soekarno Hatta
Anda pasti sering tiba di Bandara Soekarno-Hatta dalam keadaan lapar. Kemacetan lalu lintas. Buru-buru karena khawatir terlambat. Dan berbagai alasan lain. Untungnya, di setiap terminal di bandara selalu ada tempat makan yang dapat menjadi tujuan.
Bila Anda penggemar rawon, ada dua rekomendasi saya. Karena kita lebih sering mengutamakan check in terlebih dulu, baru kemudian bersantai mencari makan sambil menunggu saat keberangkatan, maka rekomendasi saya yang pertama adalah Cafe Ningrat. Begitu Anda selesai check in dan berjalan menuju pintu pemberangkatan, Anda akan dengan mudah menjumpai kafe yang satu ini.
Di antara road warriors yang sering melintasi Bandara Soetta, Cafe Ningrat memang sudah tidak asing lagi. Sop buntutnya juara. Begitu pula rawonnya. Bagi saya, rawonnya sungguh tidak mengecewakan. Harganya cukup mahal, Rp 53 ribu per porsi, lengkap dengan sepiring nasi, krupuk udang, setengah telur asin, kecambah, dan sambal trasi.
Kuah rawonnya gurih, dengan tendangan kluwek yang menohok. Penggemar rawon hardcore pastilah terpuaskan dengan citarasa intens seperti ini. Potongan daging di dalamnya pun besar-besar, empuk, dengan porsi murah hati. Karena kuahnya yang benar-benar top markotop, tidak perlu lagi ditambahi bawang goreng maupun daun bawang. Bila suka, bisa dibubuhi perasan jeruk nipis-lemon yang disertakan. Resep rawonnya sendiri sudah menggunakan daun jeruk purut yang menciptakan citarasa dan aroma khas.
Yang juga saya sukai adalah bahwa telur asinnya selalu berkualitas baik. Bagian kuningnya berwarna jingga, dan berminyak. Masir! Sambal trasinya juga dahsyat. Paket nasi rawon Ningrat ini sungguh-sungguh mendekati kesempurnaan. Hebatnya lagi, selama belasan tahun mutunya terjaga dengan baik.
Selain sop buntut dan rawon, Ningrat menyediakan nasi goreng, mi goreng, bubur ayam, ketupat sayur, dan nasi rames dengan berbagai pilihan lauk siap saji.
Kalau anggaran Anda terbatas, ada rawon yang lebih murah. Setelah check in, Anda harus keluar lagi ke serambi Hal Keberangkatan, antara Terminal E dan F. Cafe Laras juga populer, khususnya di kalangan para penjemput dan pengantar tamu karena letaknya di luar Check In Area. Karena lokasinya, harga-harga di Cafe Laras juga lebih murah dibanding Ningrat. Paket nasi rawonnya dibandrol dengan harga Rp 28 ribu saja.
Tentulah tidak adil membandingkan rawon Rp 53 ribu dan Rp 28 ribu. Tetapi, sayangnya, saya juga menduga sudah terjadi perubahan manajemen di Cafe Laras ini karena kualitas rawonnya tidak lagi sebaik di masa lalu. Irisan dagingnya pun tentu saja tidak sebanyak yang dibandrol Rp 53 ribu. Laras juga menyediakan berbagai makanan lain, dengan menu yang hampir serupa dengan Ningrat.
Setidaknya, tergantung kondisi dompet, ada dua pilihan rawon yang dapat memuaskan Anda di Bandara Soetta.
Bila Anda penggemar rawon, ada dua rekomendasi saya. Karena kita lebih sering mengutamakan check in terlebih dulu, baru kemudian bersantai mencari makan sambil menunggu saat keberangkatan, maka rekomendasi saya yang pertama adalah Cafe Ningrat. Begitu Anda selesai check in dan berjalan menuju pintu pemberangkatan, Anda akan dengan mudah menjumpai kafe yang satu ini.
Di antara road warriors yang sering melintasi Bandara Soetta, Cafe Ningrat memang sudah tidak asing lagi. Sop buntutnya juara. Begitu pula rawonnya. Bagi saya, rawonnya sungguh tidak mengecewakan. Harganya cukup mahal, Rp 53 ribu per porsi, lengkap dengan sepiring nasi, krupuk udang, setengah telur asin, kecambah, dan sambal trasi.
Kuah rawonnya gurih, dengan tendangan kluwek yang menohok. Penggemar rawon hardcore pastilah terpuaskan dengan citarasa intens seperti ini. Potongan daging di dalamnya pun besar-besar, empuk, dengan porsi murah hati. Karena kuahnya yang benar-benar top markotop, tidak perlu lagi ditambahi bawang goreng maupun daun bawang. Bila suka, bisa dibubuhi perasan jeruk nipis-lemon yang disertakan. Resep rawonnya sendiri sudah menggunakan daun jeruk purut yang menciptakan citarasa dan aroma khas.
Yang juga saya sukai adalah bahwa telur asinnya selalu berkualitas baik. Bagian kuningnya berwarna jingga, dan berminyak. Masir! Sambal trasinya juga dahsyat. Paket nasi rawon Ningrat ini sungguh-sungguh mendekati kesempurnaan. Hebatnya lagi, selama belasan tahun mutunya terjaga dengan baik.
Selain sop buntut dan rawon, Ningrat menyediakan nasi goreng, mi goreng, bubur ayam, ketupat sayur, dan nasi rames dengan berbagai pilihan lauk siap saji.
Kalau anggaran Anda terbatas, ada rawon yang lebih murah. Setelah check in, Anda harus keluar lagi ke serambi Hal Keberangkatan, antara Terminal E dan F. Cafe Laras juga populer, khususnya di kalangan para penjemput dan pengantar tamu karena letaknya di luar Check In Area. Karena lokasinya, harga-harga di Cafe Laras juga lebih murah dibanding Ningrat. Paket nasi rawonnya dibandrol dengan harga Rp 28 ribu saja.
Tentulah tidak adil membandingkan rawon Rp 53 ribu dan Rp 28 ribu. Tetapi, sayangnya, saya juga menduga sudah terjadi perubahan manajemen di Cafe Laras ini karena kualitas rawonnya tidak lagi sebaik di masa lalu. Irisan dagingnya pun tentu saja tidak sebanyak yang dibandrol Rp 53 ribu. Laras juga menyediakan berbagai makanan lain, dengan menu yang hampir serupa dengan Ningrat.
Setidaknya, tergantung kondisi dompet, ada dua pilihan rawon yang dapat memuaskan Anda di Bandara Soetta.
Rabu, 05 September 2012
Masakan Tapanuli Sentuhan Tionghoa-Korea
Kita mengenal beberapa rumah makan masakan Minang milik orang-orang keturunan Tionghoa. Hampir semua rumah makan itu sukses menjaring pelanggan setia. Contohnya adalah RM Pagi Sore di Padang, dan RM Pondok Jaya di Jakarta Pusat.
Di Medan, sejak beberapa tahun belakangan muncul kehadiran dua rumah makan yang menyajikan masakan khas Tapanuli dan dimiliki oleh orang-orang keturunan Tionghoa. Kedua restoran ini langsung berhasil menjadi favorit masyarakat Medan.
Yang lebih unik lagi, salah satu dari kedua restoran itu malah dimiliki oleh seorang laki-laki dari Korea Selatan yang beristrikan seorang perempuan keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Porsea, Sumatra Utara. Mr. Choi, pemilik restoran ini, adalah seorang insinyur sipil yang selama 24 tahun bekerja di perusahaan konstruksi Korea Selatan membangun berbagai proyek besar di Indonesia, antara lain: PLTU Paiton di Jawa Timur, jalan layang di Jakarta, dan pabrik semen Bosowa di Sulawesi Selatan.
Melissa, istri Mr. Choi, memang pintar memasak. Hingga kini, dialah yang menjadi kapten di dapur On Do. Lokasi dan ambience On Do membuatnya jadi pilihan bagi para pejabat maupun pengusaha yang ingin membawa tamunya untuk mencicipi hidangan autentik Tapanuli.
Favorit saya di On Do adalah saksang ayam (sering disebut juga sebagai sangsang). Biasanya, masakan tradisional ini selalu dibuat dari daging dan lemak babi. Tetapi, On Do menyediakan versi ayam bagi mereka yang tidak makan babi – baik karena agama maupun kesehatan. Karena saksang biasanya memakai gota (darah), di sini pun disediakan saksa ayam tanpa gota. Sajian inilah favorit saya akhir-akhir ini. Setiap kali ke Medan, pasti saya singgah ke On Do.
Ciri utama masakan saksang adalah aromanya yang harum – khususnya dihasilkan oleh bahan-bahan aromatik seperti serai, daun jeruk, dan ketumbar. Ciri yang lain adalah pedasnya yang menggigit dan sangat unik. Pedasnya dihasilkan oleh andaliman (= tuba = Szechuan pepper) yang juga menciptakan karakter sangat unik terhadap masakan saksang ini. Seringkali juga ditambah cabe keriting maupun cabe rawit untuk memperluas spektrum rasa pedasnya dengan tarikan yang khas.
Saksang dimasak dengan kelapa parut yang disangrai, kemudian ditumbuk sampai keluar minyaknya. Cara memasak seperti ini juga dikenal di Makassar untuk membuat masakan pallu basa. Hasilnya adalah masakan dengan sedikit kuah kental yang amat gurih dan lemak.
Sajian lain yang sangat saya sukai di sini adalah ikan tombur – atau sering juga disebut ikan na tinombur, yaitu ikan yang ditombur. Tombur dalam bahasa Batak berarti rebus. Padahal, di masa kini, sajian ini tidak melibatkan ikan rebus, melainkan ikan bakar atau goreng. Umumnya yang dipakai adalah ikan mas atau ikan mujair.
Bumbu-bumbunya ditumis, lalu disiramkan di atasnya. Agak mirip dengan cara penyajian pla rad prik (masakan khas Thailand populer), atau ikan bakar rica di Manado, tetapi jauh lebih gurih. Bumbu-bumbunya – andaliman, bawang merah, kemiri, jahe, jeruk nipis – ditumbuk halus dan mencuatkan rasa nutty yang sungguh gurih. Pedas-getirnya andaliman yang khas pun akan membuat lidah kita bergetar. Siak nai! Pedas sekali!
Di Medan, sejak beberapa tahun belakangan muncul kehadiran dua rumah makan yang menyajikan masakan khas Tapanuli dan dimiliki oleh orang-orang keturunan Tionghoa. Kedua restoran ini langsung berhasil menjadi favorit masyarakat Medan.
Yang lebih unik lagi, salah satu dari kedua restoran itu malah dimiliki oleh seorang laki-laki dari Korea Selatan yang beristrikan seorang perempuan keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Porsea, Sumatra Utara. Mr. Choi, pemilik restoran ini, adalah seorang insinyur sipil yang selama 24 tahun bekerja di perusahaan konstruksi Korea Selatan membangun berbagai proyek besar di Indonesia, antara lain: PLTU Paiton di Jawa Timur, jalan layang di Jakarta, dan pabrik semen Bosowa di Sulawesi Selatan.
Melissa, istri Mr. Choi, memang pintar memasak. Hingga kini, dialah yang menjadi kapten di dapur On Do. Lokasi dan ambience On Do membuatnya jadi pilihan bagi para pejabat maupun pengusaha yang ingin membawa tamunya untuk mencicipi hidangan autentik Tapanuli.
Favorit saya di On Do adalah saksang ayam (sering disebut juga sebagai sangsang). Biasanya, masakan tradisional ini selalu dibuat dari daging dan lemak babi. Tetapi, On Do menyediakan versi ayam bagi mereka yang tidak makan babi – baik karena agama maupun kesehatan. Karena saksang biasanya memakai gota (darah), di sini pun disediakan saksa ayam tanpa gota. Sajian inilah favorit saya akhir-akhir ini. Setiap kali ke Medan, pasti saya singgah ke On Do.
Ciri utama masakan saksang adalah aromanya yang harum – khususnya dihasilkan oleh bahan-bahan aromatik seperti serai, daun jeruk, dan ketumbar. Ciri yang lain adalah pedasnya yang menggigit dan sangat unik. Pedasnya dihasilkan oleh andaliman (= tuba = Szechuan pepper) yang juga menciptakan karakter sangat unik terhadap masakan saksang ini. Seringkali juga ditambah cabe keriting maupun cabe rawit untuk memperluas spektrum rasa pedasnya dengan tarikan yang khas.
Saksang dimasak dengan kelapa parut yang disangrai, kemudian ditumbuk sampai keluar minyaknya. Cara memasak seperti ini juga dikenal di Makassar untuk membuat masakan pallu basa. Hasilnya adalah masakan dengan sedikit kuah kental yang amat gurih dan lemak.
Sajian lain yang sangat saya sukai di sini adalah ikan tombur – atau sering juga disebut ikan na tinombur, yaitu ikan yang ditombur. Tombur dalam bahasa Batak berarti rebus. Padahal, di masa kini, sajian ini tidak melibatkan ikan rebus, melainkan ikan bakar atau goreng. Umumnya yang dipakai adalah ikan mas atau ikan mujair.
Bumbu-bumbunya ditumis, lalu disiramkan di atasnya. Agak mirip dengan cara penyajian pla rad prik (masakan khas Thailand populer), atau ikan bakar rica di Manado, tetapi jauh lebih gurih. Bumbu-bumbunya – andaliman, bawang merah, kemiri, jahe, jeruk nipis – ditumbuk halus dan mencuatkan rasa nutty yang sungguh gurih. Pedas-getirnya andaliman yang khas pun akan membuat lidah kita bergetar. Siak nai! Pedas sekali!
Selasa, 04 September 2012
Ayam Pengemis? Makan Ayam Sama Pengemis?
Lagi, satu cerita tentang sajian istimewa yang justru bukan dihidangkan di restoran, melainkan di bagian depan rumah. Kali ini malahan bukan di ruang tamu atau ruang dalam rumah, melainkan di teras alias emperan rumah. Ah, mungkin memang cocok dengan hidangan khas yang disajikan di sini, yaitu ayam pengemis (beggar's chicken).
Sudah cukup banyak masakan ayam pengemis yang sudah saya cicipi, karena saya memang penggemar masakan ini. Di Beijing, di Hong Kong, di Singapura, di Johor Bahru, di Jakarta. Dari semua yang sudah saya cicipi, yang satu ini harus saya nobatkan sebagai Juara Dunia. Sungguh!
Di masa lalu, para connoisseurs menyebut tempat ini sebagai Ban Heong Seng. Memang bukan restoran, melainkan sebuah rumah tempat tinggal tanpa papan nama. Bila ada yang memesan, sang nyonya rumah memasak berdasarkan pesanan. Pada jam dan hari yang ditentukan, sebuah meja atau lebih ditata di teras depan rumah sebagai tempat makan tamu. Perkenalan pertama saya dengan tempat ini sekitar lima tahun yang silam. Kemudian, tiga tahun yang lalu saya membawa rombongan dua bus untuk singgah makan di sini. Semua puas dan kekenyangan.
Secara definisi, ayam pengemis adalah seekor ayam utuh yang dilumuri bumbu bagian luarnya, kemudian sisa bumbu dimasukkan di dalam rongga perut ayam. Ayam utuh ini kemudian dibungkus dengan tanah liat tebal, lalu dibakar dalam bara api selama beberapa jam, sampai tanah liat menjadi keras seperti batu bata.
Riwayat penamaan masakan ini adalah karena dulunya ada seorang pengemis Hangzhou yang berhasil menangkap ayam dan kemudian menyembelihnya. Ayam itu disembunyikan di dalam tanah dekat sungai. Malam hari ia kembali untuk menggali ayam itu. Ternyata, semua bulu sudah tercabut karena lengket di tanah lumpur itu. Karena tidak punya kompor, pengemis itu kemudian membungkus kembali ayam utuh itu dengan tanah liat, dan melemparnya ke api unggun. Ketika tanah liat mengeras, ternyata ayamnya sudah matang dan amboooiii... empuk banget dagingnya.
Teknik memasak ini kemudian disempurnakan dengan membumbui ayam, sehingga hasilnya pun semakin ciamik. Di Ban Heong Seng, ayam pengemis ini (RM 40, sekitar Rp 120 ribu per ekor) bumbu-bumbunya sangat komplet, dan masih terlihat utuh di dalam rongga perut ayam, antara lain: bunga lawang (pekak, star anise), cengkeh, kecap hitam, kici (antioksidan, baik untuk anti-aging), dong quai (semacam akar, baik untuk mereka yang kurang darah dan tidak bertenaga), dang shen (semacam akar, baik untuk pencernaan dan menambah energi), dan rou gui (semacam akar juga, baik untuk detoks hati dan ginjal). Bagian luarnya dilumuri dengan garam dan bumbu ngo hiong yang membuatnya sangat harum. Aromanya sangat mirip dengan herbal chicken yang sering disajikan di restoran Tionghoa. Rasanya? Mak nyussssss! Pemasakan yang lama membuat dagingnya sangat empuk dan lembut.
Pendamping ayam pengemis ini adalah oyster rice (RM 30, sekitar Rp 90 ribu, porsi besar cukup untuk 8 orang) - dari ketan, mirip bakcang, dimasak dengan tiram kering. Aromanya juga sangat cantik. Selain itu, juga ada masakan populer di sini: country fish. Ikan tanpa duri. Dalam kunjungan mendatang pasti akan saya coba.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, Ban Heong Seng juga buka cabang di Kuala Lumpur, diawaki oleh si anak laki-laki. Sejak itu pula mereka menggunakan nama restoran secara resmi, yaitu: New Heong Kee. Yang di Kuala Lumpur buka sebagai restoran, sedang yang di Skudai tetap seperti semula - hanya menerima tamu yang sudah memesan sebelumnya. Pada kunjungan kami yang terakhir, tiga perempuan dari tiga generasi - nenek, ibu, anak - sedang asyik bermain mahjong di teras. Kami hanya dilayani oleh pembantunya yang berasal dari Jawa. Uniknya, bila pohon rambutan di halaman sedang berbuah, tamu pun boleh memetik sendiri buah rambutan untuk dessert. Asyiiiiik!
Sudah cukup banyak masakan ayam pengemis yang sudah saya cicipi, karena saya memang penggemar masakan ini. Di Beijing, di Hong Kong, di Singapura, di Johor Bahru, di Jakarta. Dari semua yang sudah saya cicipi, yang satu ini harus saya nobatkan sebagai Juara Dunia. Sungguh!
Di masa lalu, para connoisseurs menyebut tempat ini sebagai Ban Heong Seng. Memang bukan restoran, melainkan sebuah rumah tempat tinggal tanpa papan nama. Bila ada yang memesan, sang nyonya rumah memasak berdasarkan pesanan. Pada jam dan hari yang ditentukan, sebuah meja atau lebih ditata di teras depan rumah sebagai tempat makan tamu. Perkenalan pertama saya dengan tempat ini sekitar lima tahun yang silam. Kemudian, tiga tahun yang lalu saya membawa rombongan dua bus untuk singgah makan di sini. Semua puas dan kekenyangan.
Secara definisi, ayam pengemis adalah seekor ayam utuh yang dilumuri bumbu bagian luarnya, kemudian sisa bumbu dimasukkan di dalam rongga perut ayam. Ayam utuh ini kemudian dibungkus dengan tanah liat tebal, lalu dibakar dalam bara api selama beberapa jam, sampai tanah liat menjadi keras seperti batu bata.
Riwayat penamaan masakan ini adalah karena dulunya ada seorang pengemis Hangzhou yang berhasil menangkap ayam dan kemudian menyembelihnya. Ayam itu disembunyikan di dalam tanah dekat sungai. Malam hari ia kembali untuk menggali ayam itu. Ternyata, semua bulu sudah tercabut karena lengket di tanah lumpur itu. Karena tidak punya kompor, pengemis itu kemudian membungkus kembali ayam utuh itu dengan tanah liat, dan melemparnya ke api unggun. Ketika tanah liat mengeras, ternyata ayamnya sudah matang dan amboooiii... empuk banget dagingnya.
Teknik memasak ini kemudian disempurnakan dengan membumbui ayam, sehingga hasilnya pun semakin ciamik. Di Ban Heong Seng, ayam pengemis ini (RM 40, sekitar Rp 120 ribu per ekor) bumbu-bumbunya sangat komplet, dan masih terlihat utuh di dalam rongga perut ayam, antara lain: bunga lawang (pekak, star anise), cengkeh, kecap hitam, kici (antioksidan, baik untuk anti-aging), dong quai (semacam akar, baik untuk mereka yang kurang darah dan tidak bertenaga), dang shen (semacam akar, baik untuk pencernaan dan menambah energi), dan rou gui (semacam akar juga, baik untuk detoks hati dan ginjal). Bagian luarnya dilumuri dengan garam dan bumbu ngo hiong yang membuatnya sangat harum. Aromanya sangat mirip dengan herbal chicken yang sering disajikan di restoran Tionghoa. Rasanya? Mak nyussssss! Pemasakan yang lama membuat dagingnya sangat empuk dan lembut.
Pendamping ayam pengemis ini adalah oyster rice (RM 30, sekitar Rp 90 ribu, porsi besar cukup untuk 8 orang) - dari ketan, mirip bakcang, dimasak dengan tiram kering. Aromanya juga sangat cantik. Selain itu, juga ada masakan populer di sini: country fish. Ikan tanpa duri. Dalam kunjungan mendatang pasti akan saya coba.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, Ban Heong Seng juga buka cabang di Kuala Lumpur, diawaki oleh si anak laki-laki. Sejak itu pula mereka menggunakan nama restoran secara resmi, yaitu: New Heong Kee. Yang di Kuala Lumpur buka sebagai restoran, sedang yang di Skudai tetap seperti semula - hanya menerima tamu yang sudah memesan sebelumnya. Pada kunjungan kami yang terakhir, tiga perempuan dari tiga generasi - nenek, ibu, anak - sedang asyik bermain mahjong di teras. Kami hanya dilayani oleh pembantunya yang berasal dari Jawa. Uniknya, bila pohon rambutan di halaman sedang berbuah, tamu pun boleh memetik sendiri buah rambutan untuk dessert. Asyiiiiik!
Gulai Ayam Enak di Jakarta
Sajian ayam a la Minangkabau ini merupakan menu populer. Daging ayam kampung atau ayam jantan bagian paha atau dada disiram dengan kuah santan kental berwarna oranye yang dimasak dengan aneka rempah. Terkadang kuahnya berwarna kemerahan dan berminyak karena mengandung cabai giling. Paling nikmat jika kuahnya dituangkan ke atas nasi hangat.
Bisa dipastikan semua restoran Padang menyajikan hidangan ini. Di Jakarta, rumah makan Sederhana, Sederhana Bintaro, dan Natrabu merupakan sebagian nama restoran Padang besar dengan cabang di mana-mana. Namun, masing-masing memiliki ciri khas sendiri. Mana yang paling enak, tergantung dari citarasa kuahnya.
Kami mencicipi gulai ayam Sederhana (Rp 12.000). Dada ayamnya juicy dan empuk. Kuah santannya kental, berwarna oranye kemerahan, namun tidak pedas. Santan dan minyaknya terlihat terpisah. Baik daging ayamnya maupun kuahnya terasa sama-sama gurih enak.
Meski juga bernama Sederhana, Sederhana Bintaro memiliki citarasa yang sedikit berbeda. Gulai paha ayam (Rp 11.500) yang kami coba teksturnya lebih kenyal dibanding gulai ayam Sederhana. Kuahnya tidak terlalu kental dan berwarna oranye merata. Rasanya agak asin dengan rempah yang beraroma, namun tidak pedas.
Terakhir, kami menyantap gulai dada ayam Natrabu (Rp 13.500). Tampilannya mirip dengan hidangan Sederhana, yakni kuah kental dengan warna jingga kemerahan. Minyaknyapun terlihat terpisah dengan santannya. Ayamnya empuk, sementara kuahnya gurih, tak pedas, dan terjejak campuran asam suntinya yang segar.
Dari ketiga gulai ayam yang kami cicipi, kami paling suka dengan gulai ayam Sederhana dan Natrabu. Daging ayamnya empuk dan juicy, sementara kuah santannya terasa kental namun gurih nikmat di lidah. Apalagi kalau disantap dengan nasi, daun singkong rebus, gulai nangka, dan sambal lado mudo. Wuih, lamak bana!
Langganan:
Postingan (Atom)